A Strange Man

015b.jpg

Before and After Surgery

Dede Bukan Lagi “Manusia Akar”

JULUKAN manusia akar mungkin sudah tidak pas lagi ditujukan untuk Dede (38) warga Kampung Bunder RT01 RW06 Desa Tanjung, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung. Kutil yang bertahun-tahun tumbuh di tubuhnya hingga kedua tangan dan kakinya menyerupai akar pohon kini “lenyap” sudah. Tidak ada lagi, kutil panjang yang memberatkan kakinya saat melangkah. Kini Dede sudah tampil hamper sama dengan orang normal lainnya.

Setelah 9 bulan menjalani perawatan di RS Hasan Sadikin Bandung, serta menjalani 8 kali operasi dan satu kali proses biopsy, Dede akhirnya diperkenankan pulang oleh tim dokter , Senin (25/8). Ditemani beberapa kerabatnya, Dede meninggalkan ruang RBB RSHS dengan senyum malu-malu.

Mengenakan kemeja lengan pendek bergaris warna cokelat dan dipadu celana panjang hitam, Dede tampak tampil sangat jauh berbeda dibanding pertama kali dating di RSHS. Ditambah kacamata yang menempel di wajahnya, Dede semakin terlihat lebih “rapih”. Bukan hanya wartawan yang “pangling”, tapi sejumlah pengunjung yang mengikuti berita Dede di media juga seakan tidak percaya dengan tampilan Dede yang baru. Bahkan seorang wartawan dengan celetukannya meneriakan, “Dede jadi mirip AA Gym euy,” cetusnya.

Sembilan bulan lalu, Dede masih berambut panjang tak terurus dan tubuh kurus. Kutil banyak menempel di wajah serta kepalanya serta kutil memanjang yang memenuhi tangan dan kakinya. Saat itu orang yang melihat tentu bukan hanya iba, tapi ada perasaan “jijik”. Namun itulah kenyataan yang dihadapi ayah dua anak ini. Bertahun-tahun ia hidup dengan kutil yang tumbuh liar di tubuhnya, hingga ia harus kehilangan hari-harinya termasuk istrinya yang menggugat cerai karena tak tahan dengan kondisinya.

Hari-hari Dede sempat dilalui dengan kegiatan yang tak menyenangkan mulai dari mengemis di depan Gedung Asia Afrika hingga harus menjadi tontonan warga saat tampil di acara “manusia-manusia ajaib” di Dezon, alun-alun Bandung. Namun kegiatan terakhir itulah yang membawa perubahan pada nasib lelaki berkulit hitam ini.

Di acara tersebut, seorang professor dari Amerika , Anthony Gaspari menemuinya dan tertarik untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Sejak itu, Dede tampil disebuah stasiun televise asing hingga tersebar di media nasional dan lokal. Efeknya tentu disatu sisi membawa keuntungan. Menkes RI Siti Fadilah Supari langsung meminta Dinkes Jabar untuk segera menangani Dede di RSHS. Tepat 23 November 2007, Dede dijemput di rumahnya dan di rawat di RSHS hingga sembuh.

“Alhamdulilah, sekarang saya sudah bisa pulang. Rasanya senang, karena bisa kumpul lagi dengan keluarga,” kata Dede saat ditanya perasaanya, ketika jumpa pers dengan wartawan di ruang rapat Ilmu Penyakit Dalam RSHS, Senin (25/8).

Ia mengaku setelah ini, akan bertemu lagi dengan tetangga dan teman-temannya. Ia sudah sangat ingin kumpul dan ngobrol bareng tetangganya di rumahnya yang berada di dekat hamparan sawah tersebut. Untuk rasa syukurnya, Dede juga berniat mengadakan acara syukuran. “Kalau itu keluarga emang sudah niat. Mungkin syukuran biasa saja paling motong kambing,” ujarnya.

Ditanya kondisinya setelah “kutil-kutil” lenyap dari tubuhnya, lelaki yang berta tubuhnya naik setelah perawatan ini mengaku lebih “enteng” saat berjalan dan beraktivitas. Ia mengaku bisa melakukan kembali kegiatan-kegiatan yang sebelumnya sulit dilakukan. Ia pun mencontohkan dengan menulis di secarik kertas dengan tangannya. Di kertas tersebut, Dede menuliskan kata-kata terima kasih untuk Ibu Any Yudhoyono, Menkes serta Dirut RSHS.

Saat seorang wartawan bertanya apakah Dede akan menikah lagi? Lelaki yang berniat ingin bertani ini hanya tersenyum dan menggeleng. “Ngga, saya ngga akan nikah lagi,” ujarnya sambil menundukan wajah.

Sementara itu, menurut Ketua Tim Penanganan Dede, dr Rachmat Dinata, secara medis kondisi Dede sudah jauh membaik. Penyakit TBC nya juga sudah sembuh, dan berat tubuhnya sudah bagus, Dan yang terpenting juga, kutil-kutil yang tumbuh di tubuh Dede sudah 90 persen berhasil dibuang oleh tim dokter.

““Seperti yang pernah kami sampaikan. Dede tidak mungkin 100 persen sembuh. Kami hanya memberikan obat untuk menekan virus yang mengakibatkan pertumbuhan kutil di tubuhnya. Diharapkan obat cidovovir dari Amerika ini bisa menahan virusnya ini,” kata Rachmat, usai mendampingi Dede.

Rachmat mengatakan, masih tersisa sedikti kutil terutama di bagian tangannya. Namun sisanya ini adalah lapisan tanduk yang memang sudah sulit untuk dilepaskan karena sudah menyatu dengan kulitnya. Meski begitu, dokter memberikan obat salep salisilat 40 persen untuk membantu menipiskan lapisan kulit yang tebal-tebal tersebut.

Ia juga mengatakan, Dede masih tetap menjalani rawat jalan. Untuk ke depan hanya dijadwalkan satu minggu sekali, tapi setelah itu cukup sebulan sekali. Dan bila tidak ada halangan, Dede juga akan menjalani operasi kecil di tangannya usai lebaran nanti. “Kita akan tetap pantau, dan evaluasi dari rawat jalan ini, Semoga, kondisi Dede tetap sehat dan kutil-kutil ini tidak lagi tumbuh. Karena tentunya Dede ingin menjalani hidupnya sebagaimana orang normal lainnya,” kata dr Rachmat.

Direktur Utama RSHS, dr Cissy Rachiana Sudjana pada kesempatan tersebut juga menyatakan terima kasih atas perhatian Depkes, Dinkes serta bangga dengan hasil operasi tim dokter RSHS. Tak lupa ia juga menyatakan terima kasih untuk media yang juga turut membantu Dede melalui publikasinya.

Disinggung biaya yang dihabiskan untuk pengobatan dan perawatan Dede? Dr Cissy mengatakan, , selama 9 bulan dirawat dan beberapa kali menjalani operasi, sudah dihabiskan dana sebanyak Rp 500 juta lebih. Dari jumlah tersebut, Rp 340 juta dihabiskan untuk membeli peralatan yang membantu dalam proses operasi atau pengangkatan kutil Dede. “Meski cukup besar untuk peralatan, tapi kan alat ini bisa menjadi investasi dan berguna untuk kepentingan operasi lainnya,” kata Cissy

Terkait kabar bahwa biaya sebesar Rp 500 juta tersebut belum sepeser pun dicairkan oleh Departemen Kesehatan RI, Cissy menanggapi bahwa biaya bukannya belum turun, tapi sedang dalam proses. “Biaya ini memang ditanggung, tapi bukan berarti belum turun dananya, kan harus direkap dan dilaporkan. Sekarang sedang proses,” tandasnya. (TRIBUN JABAR/tif)

Jobs Open

I visited Communication Business College in Kawasaki City, about two hours by train from Tokyo, last December 2007 and I found the Information board that announced Job Opportunities for student. Jobs are open for who have not able to speak Japanese, who are able to speak and who are able to speak and to read Japanese. It heard that for arbaito ( part timer job) get around 1000 yen per hour pay. While in every public place is also available free different magazinesnohon-no-image-065.jpg that publish thousand job opportunities in all over of Tokyo and Japan as well.

Yoko Onno & John Lennon

nohon-no-image-085.jpgJapanese people still love John Lennon and Onno. They express their love by holding annually public concert in Tokyo recently. The concert usssually performes  all John’s populair songs himself and the song sang by the Beatles. Thousands Japanese were coming to this concernt and Onno was the star too.

Dewi Soekarno Will Never Forgive Suharto

nohon-no-image-077.jpg

 The Japanese widow of Indonesia’s founding president Sukarno says she will never forgive his successor Suharto for his repression, and has likened him to Pol Pot.
Suharto seized power from Sukarno in 1965-66 and ruled with an iron fist for another three decades.
“I don’t want to lash out at a dead man but I cannot forgive Suharto,” Ratna Sari Dewi Sukarno, Sukarno’s third wife said.
“He was Indonesia’s Pol Pot,” she said, referring to the late leader of Cambodia’s genocidal Khmer Rouge.
Dewi, a former bar hostess born as Naoko Nemoto, married Sukarno at age 19 in 1962 after he was charmed by her on a state visit to Tokyo.
After Sukarno died under house arrest in 1970, she returned to Japan where she has become a television personality and runs a jewellery and cosmetics business.
Despite Indonesia’s economic progress under Suharto, his tenure was marked by repression, from the killings of at least 500,000 communists and their sympathisers from 1966, to invading East Timor and quelling separatist movements in Aceh and Papua.
Dewi blamed Suharto both for the death of her husband, “the man who declared independence and became Indonesia’s first president,” and for the mass killings around the country.
“Although he had a soft face, he could be cruel and heartless at the same time,” she said.
“You could not tell what he was like on the inside.
“What he said and what he did were two different things.”
She scolded Suharto for not making court appearances late in his life to answer corruption charges, citing illness.
“Even today, many Indonesians suffer from that legacy and the income gap continues to widen,” Dewi said.
“He ended his life living among friends,” she said.
“I think he was a very lucky man.”

 

Dewi Soekarno Fujin 2

nohon-no-image-080.jpg

It seems that Dewi Soekarno Fujin found her carrier in the entertainment arena. She sometimes appears on several Japanese TV stations in different program, such us quiz, adventure, and other specific typical Japanese TV program. She is welknown in Japan and Indonesia because she was one of the wives of the Late first President of Republic Indonesia Soekarno. But currently She was also known because the controversial nude photos of Madame de Suga.