HAM – Penegakan HAM di wilayah umat Islam

Penegakan HAM di wilayah umat Islam
Oleh: Ali Syarief

Ilustrasi

Ada kerisauan dalam diri saya, jangan-jangan kita/sebagai umat Islam salah faham atau salah memahami ajaran Al-Islam yang kita agungkan selama ini. Agama yang diturunkan oleh Tuhan dengan Maha Sempurna itu, tetapi malah sebagian perilaku umatnya, jutru bertentangan dengan ajaran Alqur’an itu sendiri. Akibatnya sebagian yang memiliki keyakinan tertentu, harus membentuk kelompok tertentu (eklusifisme), padahal masih dalam agama yang sama, hanya karena merasa keyakinannya paling benar, dan atau kemudian cenderung menyalahkan kelompok yang lain karena perberbedaannya itu. Itu baru dalam keyakinan seagama, belum lagi bila kita soroti antara umat beragama yang satu dengan umat agama yang lain. Karena itu tanpa kita sadari, situasi seperti ini kemudian telah melahirkan pelecehan dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi kemanusiaan (HAM), yang pada akhirnya sebenarnya justru hanya akan merusak tatanan kehidupan kita sendiri, karena telah ingkar dari sunnatullah (Hukum hukum Tuhan) itu sendiri. Sehingga kemudian dialektika kita muncul, apa sesungguhnya penyebab terjadinya fenomena seperti itu?!.

Ada beberapa hal yang menurut penelitian, perenungan dan pengalaman pribadi saya, yang menyebabkan hal-hal tersebut diatas telah terjadi.

Pertama karena cara kita memahami sumber hukum Islam (Al-qur’an & As sunnah) partial, tidak komprehensif dan komparatif. Sehingga makna dari penafsiran itu sifatnya sangat diwarnai oleh nilai-nilai verbalisme/sempit/bisa karena subjectifitas interest tertentu juga. Ini disebabkan karena competency seseorang dalam memahami Al-qur’an sangat berbeda-beda. Akhrinya produk penafsirannya juga diresponse oleh mereka yang memilki kapasitas field of experience dan frame of reference yang sama (Public), yang ujung-ujungnya terjadi eklusifisme itu tadi, atau bahkan lebih ekstrim lagi dapat menyalahkan atau mungkin menuding kafir kepada mereka yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Situasi seperti inilah yang pada gilirannya telah membuat masyarakat kita menjadi chaos. Perhatikan bagaimana nasib saudara saudara kita dari kelompok Ahmadiyah!. Ingat peristiwa di Poso dan Ambon. Di Jawa Timur, rumah ustadz di serbu massa, karena melaksanakan keyakinan yang tidak sama dengan pada umumnya lingkungan masyarakat disekelilingnya, atau ustadnya ditahan karena mengajarkan bagaimana agar sholatnya bisa khusyu, lantas bacaan sholat itu diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa dipahami pemeluknya. Tentu kita masih ingat peristiwa haur kuning di Majalengka, orang-oang disana ditembaki oleh Polisi karena mempraktekan faham torekat tertentu. Ada masih banyak lagi peristiwa yang membuat kita jadi geli dan sekaligus gelisah. Menyedihkan!.

Kedua, struktur masyarakat kita dalam konteks kehidupan beragama tidak jelas, sehingga lembaga lembaga yang ada tidak memiliki otoritas apapun, untuk dapat mengatur tertib berkehidupan baik secara sosial maupun keagamaan, yang dibingkai oleh culture masyarakat kita yang majemuk. Lembaga-lembaga seperti MUI, misalnya, kewenangannya sebatas hanya dapat mengeluarkan fatwa-fatwa saja. Fatwa-fatwa itupun produknya masih syarat dengan warna kelompok kelompok orgnanisasi keagamaan tertentu yang diakomodir didalamnya, atau produk dari ulama-ulama tertentu yang kompetensinya diakui hanya oleh lingkungannya sendiri, akan tetapi mungkin saja diragukan oleh pihak lain.

Ketiga, Sementara pemerintahan kita sedang mengalimi krisis kewibaan dimata rakyatnya, karena memang tidak memiliki aturan dan kebijakan yang jelas, tidak berani bertindak tegas, dan bahkan masih cenderung berpihak kepada kelompok tertentu didalam menetapkan keputusan-keputusan kebijakannya itu, atau bahkan dia mengambangkan persoalan yang sedang hangat terjadi di masyarakat, padahal nyata nyata akan mengancam disintegrasi bangsa dan keutuhan wilayah NKRI.

Keempat, kita menjadi sadar bahwa tidak adanya tokoh bangsa yang dapat menjadi anutan semua pihak juga menjadi salah satu faktor penyebabnya itu tadi. Krisis kepemimpinan dan ketokohan bangsa ini, disebabkan oleh situasi dimana semua individu larut dalam kompetisi meraih kebahagian dan glamor duniawi yang sejenak dan fana itu saja. Termasuk figur figur ulama inherent ada didalamnya. Fatwa-fatwa ulama sekarang ini tidak lagi mengalir dalam qalbu dan fikiran kita, kecuali melalui telephone telephone celular.!. Tidak ada lagi keihklasan dan keshalihan. Semua dihitung dengan angka angka rupiah. Emosi kita sudah fokus kepada interest individu, bukan kepada kepentingan bangsa dan negara, apalagi hak-hak Azasi Manusia!.

Problema

Dari uraian diatas, saya ingin menyimpulkan permasalahan-permasalahan tersebut sebagai berikut;

1. Lemahnya kualitas sumber daya masyarakat Indonesia dalam berbagai hal, baik latar belakang pendidikan, praktek-praktek dan pengalaman hidup berbangsa dan bernegara serta beragama dimasa lalu;

2. Eklusifisme organisasi organisasi keagamaan, etnisitas, keragaman beragama cenderung memberikan kontribusi yang negatif terhadap penegakan HAM;

3. Aspek-aspek legalitas yang ada, belum sepenuhnya dapat memenuhi penegakan HAM
4. Sebagian masyarakat kita salah memahami iklim demokrasi seperti yang saat ini sedang terjadi di Indonesia, sehingga secara menyedihkan sesungguhnya telah menginjak-nginjak Hak Azasi Manusia (Arogansi Mayoritas/kekuasaan dan Tirani Minoritas).
5. Pemerintah yang tidak berwibawa!

Upaya-upaya Penegakan HAM di Indonesia;

1. Menggelorakan semangat bermasyarakat & beragama dalam kontek etika kemajemukan, sehinggga tumbuh tingkat toleransi yang tinggi, saling pengertian, dan imun terhadap berbagai konflik yang muncul dan timbul akibat salah tafsir terhadap pemahaman keagamaan. Tidak ada satu agamapun yang mengajarkan faham-faham perpecahan dan kebencian di muka bumi ini.

2. Menganalisis dan menyempurnakan berbagai macam UU atau peraturan-peraturan lainnya yang dapat menjadi penyebab berkembangnya potensi pelanggaran HAM.

3. Mendorong forum-forum dialog antar umat beragama, etnisitas, suku dan budaya, dalam kontek penegakan HAM, sehingga HAM adalah kebutuhan dan culture bangsa.

4. Menjalin komunikasi dan interkasi dengan pihak-pihak terkait (related parties) untuk terus menerus mendewasakan pemikiran, pemahaman dan implementasi di lapangan mengenai HAM.

5. Memantau dan memonitor secara terus menerus terhadap berbagai peristiwa dan pelanggaran HAM oleh semua pihak baik aparat penagak Hukum, kalangan profesi, tokoh, maupun masyarakat umum itu sendiri.

6. Menjalin hubungan baik/interaktif dengan para korban-korban HAM untuk dimasyarakatkan agar tidak terulang kembali praktek dan akibat buruk yang ditimbulkan oleh pelanggaran HAM

7. Menjalin dengan siapa saja baik didalam maupun di luar negeri untuk bekerjasama dan berkoordinasi dengan lembaga lembaga yang memiliki visi dan missi yang sama dalam penegakan HAM di Indonesia.

8. Mengembangkan volunteer – volonteer HAM di berbagai kelompok masyarakat, sehingga HAM menjadi kepedulian semua pihak.

Ichtilaf rachmat – Perbedaan itu adalah Rachmat”, sabda rosul SAW.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s