Kalau SBY Marah Marah

He..he.. Susilo Bambang Yudhoyono-Presiden RI kita, marah marah pada saat sedang memberikan pengarahan dihadapan para peserta Lemhamnas baru-baru ini di Jakarta. Pasalnya adalah, salah seorang dari peserta tersebut, kebetulan para pesertanya adalah para Bupati dan Walikota, kedapatan sedang tertidur. Ini kejadian yang luar biasa!. Analisanya bisa berbagai macam. Boleh juga kita katakan, bahwa ini adalah sebagai suatu penghinaan kepada yang terhormat Bapak Presiden kita. Bisa juga Bupati yang kedapatan tertidur saat Presiden kita sedang memberikan pengarahan itu, sebagai seseorang yang “tolol” sekali. Ini juga adalah perisitiwa yang humiliating bahkan disgusting!. Tapi menurut teori ilmu komunikasi, kalau komunikan (audience) tidak mengerti atau faham terhadapat pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikatornya, atau komunikan tidak memberikan atensi kepada komunikatornya sehingga hingga tertidur, yang patut di salahkan adalah Komunikatornya.

Dalam teori rethorika (ilmu berbicara) ada pepatah seperti ini; “ que excendite sine labore excendite sine honore” artinya bila seseorang mau naik panggung untuk berpidato tanpa persiapan, maka ia akan turun tanpa kehormatan. Nabiyullah Muhammad SAW, juga bersabda; “ khotibunasu ala qudri uqulihim” artinya, khotbahilah manusia itu sesuai dengan kadar intelektualnya. Oleh karena itu adalah Lazim, bila seseorang yang akan menyampaikan sesuatu atau mau berpidato di hadapan audience tertentu, maka biasanya benaknya akan dipenuhi oleh berbagai idea/gagasan, seperti bagaimana memilih pesan-pesan yang menarik, bagaimana hal itu dapat disampaikan dengan impresif kepada audiencenya. Umpamnya, dipilihnya kata-kata yang dapat menarik dan dapat memberi pengaruh yang kuat kepada audiencenya atau memiliki word power, kemudian bagaimana memilih body languagenya, supaya kata-kata tadi berkesan dan melekat pada benak audience. Awalnya masuk pidato seperti apa kemudian ending bagaimana, termasuk didalamnya memilih pakaian yang baik. Karena inti dari keberhasilan seorang komunikator/orator adalah, bagaimana komunikan berubah perilaku dan sikapnya sesuai dengan harapan sikomunikatornya.

Tetapi kejadian diatas, malah salah seorang komunikannya tertidur. Ini artinya adalah awal dari kegagalan seorang pembicara. Bagaimana audience bisa berubah behavior and attitudenya, denger aja ngga!. Coba kita lihat, pada zamanya ketika KH Zainudin MZ, tampil sebagai si ustad yang sejuta umat itu. Mana ada audience yang tertidur. Walau harus berjam-jam menunggu kedatangan sang dai, mustaminya akan tetap tak beranjak dari tenpat duduknya, hingga ustadz idolanya tadi hadir nyampaikan alunan fatwa-fatwanya. SBY juga salah seorang pembicara yang banyak orang menyukainya, karena ia dikenal dengan tutur katanya yang runtut, santun, gaya bicaranya yang kalem dan badanya tinggi besar.

Kita percaya banget, kalau peristiwa tersebut bukan karena salah komunikatornya, karena kasusnya hanya terjadi kepada satu dari sekian peserta yang hadir saat itu. Boleh jadi Pak Bupati yang tertidur itu, terlalu capai, karena mungkin semalaman beliau kurang tidur, atau karena mungkin juga ia mengerjakan tugas-tugas PR ke Bupatiannya. Bisa jadi juga, mungkin, semalaman beliau wakuncar mungpung sedang berada di Jakarta, yang hampir tidak mungkin tidak ditemukan berbagai kesempatan itu di daerah dimana beliau memimpin. Tapi ini persoalan moralitas, sebagaimana SBY katakan juga dalam pidatonya. Pemimpin jangan bermain-main dengan tanggung jawab, demikian ungkap SBY dengan nada tegas. Diantara para peserta, bisa saja banyak yang pandai, tapi pandai saja tidak cukup untuk bisa lulus dari Lemhanas ini, lanjutnya. Peserta yang tidak punya moralitas yang baik, jangan sampai dilulusakan dari Lemhanas ini, tegasnya lagi. Nah lho..kacian deh!.

One thought on “Kalau SBY Marah Marah

  1. Berikut sebuah cerita dari seorang teman, pada periode awal Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya saya tulis dengan “Presiden SBY”) memangku masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, ada sebuah kejadian seperti ini, seorang Menteri hadir terlambat pada sebuah rapat yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY. Menyikapi kejadian tersebut, Beliau hanya berkomentar: “Maaf Pak, kami memulai rapat terlalu pagi”.
    Kalau cerita itu benar, maka cocoklah dengan tulisan Pak Ali bahwa Presiden SBY memang dikenal terbiasa bersikap elegan alias santun dalam bersikap, berpenampilan dan tentunya bertutur kata. Yang jadi masalah sekarang, mengapa tiba-tiba Presiden terlihat emosional dalam menyikapi situasi di mana ada seorang (atau mungkin beberapa orang) yang mengantuk ketika sedang mendengarkan ceramahnya?
    Saya jadi ingat kejadian serupa, pada saat itu Presiden kedua Republik Indonesia, Almarhum Bapak Haji Mohammad Soeharto yang juga dikenal elegan dan rajin tersenyum (sampai mendapat julukan “The Smiling General” dari Cindy Adams) mendadak mengeluarkan kalimat yang isinya kira-kira: “…Kalau perlu mereka harus digebuk…” pada sebuah wawancara dengan wartawan di sebuah penerbangan pulang dalam lawatannya dari Aachen (Jerman Barat)menuju Jakarta. Waktunya saya tidak ingat pasti, mungkin sekitar 1994 atau 1995, yang jelas Pak Harto mendapat malu yang teramat sangat ketika didemo oleh sekelompok orang di Jerman Barat. Belakangan diduga Bapak Sri Bintang Pamungkas (waktu itu menjadi Anggota DPR dari Fraksi PPP, kemudian menjadi pendiri Partai Uni Demokrasi Indonesia) merupakan “otak” dari aksi demo tersebut. Kata “gebuk” yang cenderung bermuatan emosi ini tentunya ditujukan pada para pendemo atau minimal penggagas demonstrasi tersebut.
    Nah, apabila kata-kata atau sikap yang sama dilakukan oleh Presiden RI pertama, Bapak Ir. Ahmad Soekarno atau terlebih Presiden RI keempat Bapak Kyai Haji Abdurrahman Wahid, tentunya media masa dan kita akan mesem-mesem saja. Mengapa? Karena kedua mantan Presiden RI tersebut memang dikenal doyan memperlihatkan sikap, baik itu berupa kata-kata atau gaya sinikal, bombastis bahkan kadang-kadang sarkastis. Ada “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika” lah, ada “Go to hell with United Nations” lah, ada “DPR kayak taman kanak-kanak” lah dan lain sebagainya.
    Dari fenomena di atas, ada beberapa kesimpulan yang cukup menarik kita cermati. Pertama, seorang pemimpin seringkali dijadikan over estimated figure atau figur yang sering diharapkan sekaligus diperhitungkan lebih dari titik kesempurnaannya sebagai manusia biasa. Sekali mereka dinilai keras, akan dicurigai apabila sesekali mereka bersikap lunak, sekali mereka dinilai santai, akan digosipkan apabila mereka tampil serius, bahkan sekali mereka dinilai santun, hampir tidak ada maaf apabila mereka terlihat emosional. Seringkali sikap yang sangat biasa apabila dilakukan oleh “orang biasa” menjadi sangat luar biasa apabila dilakukan oleh “orang yang luar biasa” seperti seorang pemimpin, baik itu positif (contohnya berbicara dengan pedagang di pasar, berjabat tangan dengan penderita lepra atau AIDS dan lain-lain) maupun negatif (marah, terpeleset ketika berjalan, kurang sehat dan lain-lain). Fair or unfair, inilah realita hidup. Prestasi seringkali dikalahkan dengan sensasi.
    Kedua, mungkin saja Presiden SBY juga lelah sehingga tidak dapat segera menetralisir lonjakan emosinya ketika melihat sesuatu yang menjengkelkan. Siapa yang tahu, berapa lama Presiden SBY mungkin menahan jengkel melihat the sleeping men dalam sesi Pembekalan Kursus Lamhanas tersebut? Apa bedanya dengan guru kita dahulu yang bahkan lebih sadis, menggebrak meja, melempar kapur tulis atau kadang-kadang penghapus papan tulis ke arah murid yang sedang tertidur di kelas saat pelajaran berlangsung?
    Ketiga, ini yang paling “parah”, bisa jadi Presiden SBY sudah putus asa melihat budaya 4D (Datang Duduk Diam Duit) yang sudah menggejala demikian luasnya di kalangan babe-babe pejabat. Keputusasaan tersebut akhirnya meledak berupa amarah seperti kemarin.
    Apapun sebabnya (termasuk analisa Pak Ali), saya lebih memilih untuk melihat setidak-tidaknya ada hal positif yang dapat kita peroleh dari kejadian “ngambeknya” Presiden SBY kemarin yaitu kalau saja kita semua sadar akan tugas dan tanggung jawab profesional dalam pekerjaan yang kita pilh, maka kejadian tersebut tidak perlu terjadi. Andaikan para pejabat, anggota legislatif, aparat pemerintahan dan siapa pun sadar akan konsekuensi profesinya, saya yakin kita akan jauh melangkah ke masa depan yang cerah. Bagi saya, walau pun dinilai terlambat atau terlalu reaktif sikap Presiden SBY dapat dianalogikan sebagai riak kecil di tengah samudera yang siapa tahu apabila dilakukan bersama-sama dengan tujuan positif dapat menjadi gelombang tsunami yang dapat menghacurkan karang korupsi, pantai manipulasi, peselancar oprtunis bahkan menyapu kota KKN sampai “bersih”.
    Bravo Presiden SBY !!

    Note: Ngomong-ngomong, untuk mendapatkan simpati publik, tidak ada salahnya apabila Kristina, Sang Diva Dangdut Indonesia mengganti namanya menjadi Ina. Mirip Ibu SBY yang mau tidak-mau sudah mendapat sebutan “Ibu Ani”. Ha…ha…ha…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s