Barangkali semua masih ingat, peristiwa Mei 1998 yang lalu, waktu ribuan Mahasiswa berdemo di halaman DPR RI, meneriakan yel yel “reformasi”, selama beberapa hari, yang kemudian memicu chaos di seluruh Jakarta, penembakan kepada Mahasiswa dan akhirnya Pak Harto, yang kata orang dikenal sebagai tokoh otoriter, mengundurkan diri. Pada saat itu “ Demonstrasi” adalah perilaku yang melawan hukum, karena memang tidak diijinkan oleh pemerintah ‘Orba”. Kontradiktif, ketika “ Demonstrasi” ditetapkan sebagai alat demokrasi, sebagai hak seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan pendapatnya, tetapi SBY, tokoh utama dan no 1 di Partai Demokrat, seolah-olah dungu, tak bergeming dengan teriakan dan jeritan para pendemo dan rakyat. Para penguasa lainnya seolah-olah menutup telinganya dan hatinya rapat dipatri oleh kepentinganya sendiri. Namun hal yang sama adalah cara para aparat kepolisian menangai para pendemo itu, yaitu dengan memeranginya/perang batu, menyerang, menyerbu, memukuli, menangkap dan memenjarakannya.
Ketika demo itu telah dilegalizir sebagai salah satu tool of democracy, kemudian ada dialektika dalam benak kita, seberapa jauh demo itu sendiri, sebagai media of expression bagi rakyat, berpengaruh kepada kebijakan kekuasaan?, karena ini juga sebagai bagian dari sistim dan nilai kehidupan berpolitik demokrasi. Demo seperti apa yang dibenarkan dan diijinkan? Jangan terjadi atas nama demokrasi, kemudian berdemo, padahal itu mengganggu kepentingan publik dan pihak lain, padahal demo untuk kepentingan urusan perut sendiri, dlsb. Seperti contoh demo nasional para guru honorer untuk memperjuangkan nasibnya supaya diangkat menjadi pagawai negeri sipil.
Kita bisa contoh, bagaimana policy Singapore mengenai demo ini. Di Singapore orang boleh berdemo, tetapi tempatnya hanya di town square (Alun-alun). Tetapi ketika demo berlangsung, ada pejabat terkait hadir disitu, termasuk polisi dan Jaksanya. Pendemo boleh mengungkapkan apa saja unek uneknya, tetapi bila dinilai fitnah, bohong atau tidak benar, maka serta merta polisi saat itu membawanya dan jaksa menuntutnya. Di Amerika demo diikuti oleh orang-orang yang benar-benar pro terhadap apa yang diperjuangkannya, sehingga tokoh atau prominent figure nya turut juga turun ke jalan. Ada qualitas manusia pesertanya disitu. Di Jakarta, demo apa saja issuenya, orangnya itu itu juga.
Teman saya, Prof Thomas Edward Hogan, Mc Quarie University Sydney Australia, mengatakan; “ democracy is regulated!”. Jangan beranggapan di Negara paman sam, yang dikenal sebagai negara paling demokratis, kemudian orang bebas berbuat apa saja seenak perutnya. Bila ada seorang lelaki melirik wanita yang ada didekatnya, dengan lirikan yang membuat si wanita itu tidak suka, maka si wanita itu boleh sue ke pangadilan dengan alasan sebagai pelecehan sexual. Termasuk bila seorang istri dipaksa untuk melayani keinginan suaminya melakukan kewajiban hubungan suami istri, isitri bisa saja mengajukan ke pengadilan sebagai “sesuatu perkosaan”.
Tentu kita tidak ingin menyalahkan model-model demo yang terjadi di negeri ini, tetapi bila kita telaah lebih jauh, karakteristik demo kita diwarnai oleh sesuatu yang justru ada something missing, yaitu sepertinya kehilangan kepekaan social dari para pengambil kebjikan kita, dan wakil kita di DPR RI yangt justru tojai’ah ( kontradiktif) dengan aspirasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pemilihnya. Inilah yang kemudian kita melihat, rasa tidak percaya rakyat kepada semua pihak yang ada dijajaran supra struktur semakin besar. Sinyelemen ini, dapat kita baca pada berbagai hasil Pilkada di daerah-daerah, calon-calon yang dianggap underdog jutsru keluar sebagai pemenangnya. Partai-parti politik, apalagi partai-partai yang berlandasan agama, semakin jauh dari hati rakyat. Akhirnya kita juga semakin yakin, bila nanti calon-calon independen bermunculan dari kalangan yang baru, pasti akan mendapat dukungan yang besar dari rakyat. Situasi seperti inilah, yang kemudian “demo” sebagai lata demokrasi berubah menjadi “ chaos “, yang kemudian berubah menjadi kriminilitas.