Adalah Wie Chong namanya. Orang China. Teman saya waktu kecil. Saya tidak melihat dia sekolah selesai hingga SMP. Saya maklum dia tidak tamat sekolah, karena orang tuanya memang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Ia, kakak-kakaknya dan adik-adiknya, sehari hari hanya bekerja membantu di Toko besi dan sekaligus rumahnya milik orang tuanya. Toko besi itu menjual paku. cat, seng. dan alat-alat bangunan lainnya. Waktu itu makan keluarga, masih kadang-kadang bubur saja.
Itu cerita 35 tahun yang lalu. Kini Wie Chong, masih tetap jualan seperti yang lalu. Tempatnya juga masih disitu. Tapi yang bebeda sekarang adalah, perputaran uangnya tiap hari bisa ratusan juta rupiah. Tanah didepan tokonya sudah dia beli, dan dijadikan gudang untuk stock barang2nya. Kakak-kakaknya juga punya Toko lain di daerah yang berbeda. Semenntara adik-adiknya juga sudah punya Toko sendiri sendiri. Wie Chong boleh jadi berangan-angan lebih dari apa yang sudah dia raih sekarang. Tapi apa yang ia lakukan? Ia hanya melanjutkan usaha orang tuanya, bersama kakak dan adik-adiknya. Karena kemampuannya memang hanya disitu dan situasi juga, saat itu, memang Wie Chong tidak mungkin jadi PNS, Militer, apalagi mimpi jadi Menteri. Tapi yang ia lakukan hanya satu yaitu “ ngeureuyeuh” dagang punya orang tuanya. Ngeureuyeuh itu, kata lain dari mensyukuri karunia Tuhan. Ia adalah teguh, ulet dan serious. Inilah sunnatullah/hukum Allah, maka kepada Wie Chong berhak menerima reward dari Allah, yaitu ditambahnya nikmat rizki yang berlipat ganda kepadanya bersama saudara-saudaranya.
Ngeureuyeuh versus Do’a
Ini cerita masih 35 tahun yang lalu. Ustadz Aceng, almarhum, teman karib Ayahanda saya, tiap hari kerjanya mengajar (pengajian). Saya masih ingat beliau biasa menggunakan sepeda ontel. Sudah pasti tentu saja ada bab bagaimana berdo’a supaya di kabulkan oleh Allah. Karena menurut faham kita Do’a adalah jalan pintas, untuk mencapai tujuan yg kita inginkan. Bulan lalu, saya bertemu dengan Putranya. Sepertinya dia, Ustad Adang, begitu orang memanggilnya, juga seorang ustadz melanjutkan titisan orang tuanya, yaitu masih sebagai juru do’a..
Pertanyaan saya adalah, benarkah memaknai do’a itu seperti yang ada saat ini dalam benak kita? Yang Qun fayaqun! ( be and it is – jadi maka jadilah). Do’a adalah keajaiban, dlsb.
Dua gambaran sosok diatas itulah yang kemudian saya renungkan dengan merujuk kepada Al-qur’anulkarim, sehingga kesimpulan saya menjadi seperti ini ;
1. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri merubahnya. Strateginya “ ngeureuyeuh” itu tadi, yang dalam bahasa qur’an yang lain disebut sebagai “shabar”. Step by step, begitulah hukum Allah. Tidak pernah ada kejadian seorang bayi begitu lahir kemudian serta merta bisa berbicara. Jadi qun fayakun itu konteksnya adalah suatu proses.
2. Do’a adalah strategi akhir setelah manusia maksimal melakukan ikhitiarnya. Karena berjuang dengan do’a adalah selemah lemah orang yang beriman. Kata baginda rosul; Ubahlah kemaksiatan itu dengan kekuasaanmu, bila tidak mampu, dengan lisan mu, bila tidak mampu juga maka berdo’alah. Itulah selemah lemah orang yang beriman!.
3. Karena itu marilah do’a itu kita fahami dan tafisrkan dalam paradigma baru yaitu a vision. Cita-Cita. Cita cita itu harus selalu kita utarakan setiap saat kepadaNya, supaya masuk dalam otak bawah sadar kita, sehingga kemudian menjadi sikap dan memfokuskan gerak lankah sehari hari untuk mencapai visi itu. Oleh karena itu menjadi benar adanya, sebagaima Tuhan mengatakan berdo’alah niscaya akan kami kabulkan tapi “fastajibuli” (penuhi dulu syarat-syaratnya). Apa itu fastajbuli? Adalah ikhtiar. Dan sebaik baik icktiar adalah “ngeureuyeuh”. Semoga bermanfaat.
Salam,
Sekali lagi, saya sepaham dengan bapak, dalam memahami sesuatu bukan berarti kita mengikuti apa yang nampak, atau atau apa yang dijejalkan ke kepala kita.
Sewaktu perang Iran-Irak dulu, saya masih remaja kala itu, saya melihat di berita TV tentara Iran bersembahyang di hanggar sesaat sebelum mereka menuju ke pesawat tempur. Terpikirkan oleh saya : ‘pasti tentara2 Irak juga melakukan hal yang sama, mereka berdoa sebelum berperang’, bagaimana sikap Allah pada saat itu? Mengabulkan doa pihak yang mana? Walaupun, mungkin, tatacara beribadah mereka agak berbeda, tetapi tuhan mereka cuma Allah juga, kan?
Memang Allah maha tahu, tapi kita manusia pengen tahu juga.
Kepasrahan adalah pilihan terakhir, menurut saya, ketika segala usaha sudah kita upayakan tetapi tidak berhasil juga, berdoa kepada Allah adalah upaya pendukung, tetapi bukan satu2nya.
‘Ikatlah untamu sebelum masuk ke mesjid’, adalah sabda nabi yang menunjukkan bahwa kita janganlah menggantungkan segalanya kepada Allah, dengan mengikat unta agar dia tidak lari adalah upaya manusiawi yang tidak membebankan segala urusan duniawi kepada Allah SWT.
Teman saya, seorang atheist mungkin, berkebangsaan Amerika, ketika saya bertanya apakah dia pernah berdoa, menurut agamanya? Jawabnya : ‘Why bother Him, if you could do it? If you couldn’t, you not tried harder, if still failed, try another jobs!’, ini memang ekstrim dan bertentangan dengan pandangan bahwa segala sesuatu itu sudah diatur oleh Allah, tapi karena ini adalah pandangan dia secara pribadi, saya menghormatinya.
Maaf, tapi saya kurang sependapat bahwa doa itu adalah merupakan suatu visi, sesuatu yang kita harapkan akan jadi, akan terwujud, what we will be. Sebab, menurut saya, visi itu adalah sesuatu yang ada didepan kita, not in the near future, not in the reachable distance, tapi jauh di depan dan masih menjadi cita-cita. Ketika dia sudah di depan mata, kita harus lebih presisi menggapainya, disinilah letaknya upaya dan kerja keras.
Jika dianalogikan dengan permainan golf, visi itu adalah pin-hole di par 5, saat ini kita mengejarnya dengan driver, 2nd shot mungkin dengan fairway wood, tetapi ketika approaching kita punya banyak pilihan, wedge, pitching atau mungkin 7 iron untuk membuatnya masuk green dengan datar. Ketika saat putting, kita punya keraguan, apakah break-reading kita sudah benar? Disinilah, mungkin, doa itu berfungsi paling besar, menyakinkan kita bahwa keraguan bisa kita tepiskan, tapi saya kira Allah tidak akan membantu banyak saat itu, apalagi kalau mainnya dengan taruhan!
Tapi, kembali ke khitahnya manusia muslim, segala sesuatunya dari Allah dan akan kembali ke Allah, jadi terserah setiap insan bagaimana memandang tatacara penggunaan doa itu.
Wassalam.