Oleh : Ali Syarief
Ketika seluruh Pendeta Hindu di Bali berkumpul, dalam rangka perenungan setelah Bom Bali meledak, disaksikan oleh para kepala negara asing waktu itu, dan disiarkan keseluruh pelosok dunia, Pendata tertinggi Bali itu dalam mengawali do’anya, Ia berkata seperti ini; “Alam Bali sudah kotor, marilah kita bersihkan kembali oleh kita semua, dengan masing-masing membersihkan diri”. Kemudian salah seorang keluarga korban Bom JW Mariot, dalam mengantar mendiang Mokodompis keliang lahatnya, beliau berkata; “jangan membalas kekerasan dengan kekerasan, marilah kita balas dengan kebaikan”.
Dua pernyataan tersebut itu, bagi saya sebagai seorang Muslim telah membuat diri ini merasa dijatuhkan kedalam derajat yang paling rendah, malu dan merasa terhinakan oleh mereka yang merasa telah berjuang mengatas namakan Tuhan dan Agama dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Mereka biadab. Mereka telah meluluh rantahkan sendi-sendi kehidupan manusia lain. Berapa banyak keluarga yang akan menanggung derita akibat perbuatan keji itu. Isak tangis dan cucuran air mata yang tidak sepatutnya membajiri pipi mereka. Kerugian secara ekonomi pun, meluas. Bukan saja kedua hotel itu yang harus segara di rehabilitasi, tetapi nasib ratusan orang dan keluarga yang berkeja di kedua hotel itupun akan terganggu. Sementara saudara-saudara kita yang memiliki jiwa enterpreneur, ingin mengadu nasib untuk meraih keuntungan dari kehadiran kesebelasan Manchester United, harus gigit jari karena mereka urun hadir di Senayan, gara-gara hotel yang mereka akan inapi di hancurkan.
Kekesalan itu saya tulis dalam beberapa status saya, hingga aklhirnya saya menulis seperti ini; “Thus, if a Muslim decides to blow himself up and take innocent people’s lives with him, we cannot deem that such an act represents Islam,” Radicalism was born from individuals’ misinterpretations of religious teachings. Pada status sebelumnya saya turunkan seperti ini : “Extremists in any religion or culture are very frightened confused people”
Ada alasan yang melatar belekangi mengapa saya tulis status seperti tersebut. Saya menemukan dua kalimat kunci didalam kitab suci yang saya kagumi yaitu Al-qurnulkarim. Kalimat itu ialah; “ya ayuhaladzina amanu ittaqullah” dan “Ya ayuhannas ittakurobakum”. Artinya, yang pertama, tentu ini ditujukan kapada orang Islam, “hei orang yang beriman, bertaqwallah kepada Allah” dan yang kedua “Hei manusia semua, bertaqwalah kepada tuhan-tuhan kamu”. Saya memahami nya bahwa Tuhan telah meminta kepada semua manusia untuk mengikuti dan taat kepada aturan tuhan-tuhan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Inilah yang telah membuat diri saya tersenyum ikhlas; ketika melihat seorang Muslim beribadah di masjidnya, ketika seorang kristiani pergi ke gerejanya, ketika seorang Hindu membawa persembahan ke pura-puranya, ketika seorang Budha menyulut dupa di hadapan Patung Budha Gautama, dst.
Mestinya dari bbrp kejadian kekerasan yg kemudian diopinikan sbg tindakan extrimis muslim (terorisme) itu dicermati dulu donk. Alamikah atau malah rekayasa. kita heran mengapa kekerasan yg dilakukan oleh OPM di Papua atau RMS di Maluku tdk pernah diopinikan sbg terorisme.
Seperatisme bukan Terorisme
great expression bang …. enyahlah teroris berkedok agama … dan teroris lainnya …
Iya..terima kasih