Papua: Culture Gap Problem

Beberapa negara besar, seperti Amerika dan Australia, sudah memberi isyarat, bahwa masalah konflik di Papua saat ini adalah serious!. Amerika melihat dari sisi pelanggaran HAM sedangkan Australia meminta supaya pemerintah pusat lebih intensif dan aktif melakukan dialog lagi. Cara pandang ini memberi kesan kepada dunia, bahwa koflik Papua tanpa ada intervensi asing!.

Dua tahun lalu saya berkunjung ke pedalaman Papua, menemui suku Korowai. Perjalanan yang sangat ekslusif dan eksotik itu, karena sangat mahalnya biaya kesana dan jarangnya orang berkunjung tempat tersebut. Untuk sampai ke daerah terdekat dengan suku Korowai, harus charter pesawat hingga 120 juta rupiah pp. 120 juta rupiah tidak cukup untuk bisa bertemu dengan mereka. Perjalanan harus dilanjutkan dengan perahu kanu, selama kurang lebih 1.5 jam lagi, menyusuri dua sungai besar. Nah..usai berkanu, barulah berjalan kaki masuk ke hutan perawan, selama 4 jam. Menerobos hutan lebat, dengan serangan berbagai macam serangga dan lintah, baru akhirnya bisa sampai dengan Suku Korowai.

Suku Korowai hidup di atas pohon-pohon besar, makan sagu, babi dan ikan serta tumbuh2an lainnya, yang ada terpelihara diwilayah sekitar lokasi mereka tinggal. Suku Korowai tdk memelukan Rumah Sakit, karena bila sakit bisa mencari obat sendiri dialam sekitarnya. Tidak perlu pasar untuk membeli apapun, karena alam menyediakan dengan lengkap, banyak dan mudah untuk keperluan mereka. Tidak perlu rumah berdinding beton daan beratap seng, karena air hujan yang membasahi badan menyegarkan tubuhnya.

Rumah-rumah yang dibangun oleh Depsos, tidak diperlukan oleh mereka, karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan malah tidak membuat mereka comfort, karena atap seng membuatnya gerah dan tidak nyaman.

Sepanjang rencana-rencana pembangunan di Papua datang dari pemikiran dan idea orang Jakarta, maka sepanjang itu pula tidak akan pernah menyentuh kepada kebutuhan mereka. Jadi harusnya bagaimana? Biarkan mereka menentukan cara hidupnya sendiri. Mereka sebenarnya sudah hidup modern di alam primitive, karena sadar akan pentingnya memelihara lingkungan, untuk kelangsungan hidupnya sendiri.

Ketika saya tanya mau oleh-oleh apa yang harus saya bawa dan mereka sukai?. Jawabnya sederhana “bawakan kami cermin”.

One thought on “Papua: Culture Gap Problem

  1. • Dalam situasi ekonomi sulit, Kaisar Cina menyewakan Hongkong & Makao, 99 tahun, pada Inggris dan Portugis. Sun Yat Sen, Chiang Kai Sek, Mao Zedong, tidak membatalkan, menggugat, meninjau ulang kontrak tsb. Mereka mengakui kontrak itu sah karena dibuat oleh negara-negara yang berdaulat. Cina l ebih memilih menjalin hubungan dan bersahabat dengan si penyewa ketimbang berkonfrontasi dan/atau beradu argumen mengenai ketidakabsahan kontrak dengan kaisar Cina yang notabene runtuh akibat revolusi. Cina justru ‘memanfaatkan’ Hongkong dan Makao a.l. sebagai pintu keluar/masuk ekspor/impornya. Hongkong yang kembali jadi wilayah Cina (era Deng Xioping) dibiarkan dengan bendera dan sistem ekonominya yang liberal-kapitalistik.

    • Di penghujung akhir PD II, Tokyo hampir luluhlantak dibombardir angkatan udara sekutu/AS (PD II) Jepang dibom atom (Horoshima dan Nagasaki) oleh AS. Jepang menyerah tanpa syarat! Namun, Jepang tidak tenggelam dalam kesedihan dan/atau kemarahan akibat hilangnya nyawa ratusan ribu warganya dan luluhlantaknya kota-kota. Jepang bangkit bahkan, dibantu bekas musuhnya (AS), membangun kembali negeri yang diera 70-80an menjadi pesaing ekonomi AS.

    • Hutan di Vietnam (Selatan) rusak parah akibat bom api dan bom mustar yang dilakukan AS. Dalam peperangan tsb AS mengaku kalah! Vietnam tidak menghitung-hitung kerugian perang dan minta ganti kerugian pada musuh yang dikalahkannya. Vietnam tidak mabuk kemenangan, mereka menutup buku masa lalu. Mereka membuka lembaran baru sejarah untuk membangun masa depannya. Vietnam bekerja sama dengan bekas musuhnya untuk banyak hal (keanggotaan Vietnam di WTO hasil perjuangan keras AS). Warga Vietnam masuk di AS tanpa visa.

    • Jerman di PD I dan II, sempat memporak-porandakan Eropa. Namun, tidak ada dendam terhadap bangsa Jerman. Eropa bersatu dalam bingkai Uni Eropa.

    Menghitung-hitung kerugian dan menggugat masa lalu hanya membuang tenaga, waktu, dan pikiran. Proses yang belum tentu akan mencapai titik temu itu bisa belasan, puluhan, atau mungkin ratusan tahun. Mereka membedakan antara bangsa (yang pada hakekatnya sama di muka bumi ini) dengan pemerintahan (bisa diktator, imperialistik, penindas, demokrasi, dll). Catatan: Karenanya PBB mengambil nomenklatur bangsa-bangsa (nations).

    Kontrak Freeport sah dan karenanya harus dihormati. Indonesia tidak akan ambruk hanya karena emas (dan tembaganya) di situ diangkut ke luar. Yang harus dilakukan Indonesia adalah menuntut agar tidak terjadi pencemaran lingkungan, meminta dana kompensasi untuk merehabilitasinya (ketimbang mengalokasi dana keamanan yang berpotensi akan menindas warga).

    Rehabilitasi jangan sekali-kali dilakukan Jakarta. Berikan itu pada putra-putri Papua, apa bagaimana merahbilitasi/membangun yang terbaik untuk kepentingan Papua. Alam/lingkungan yang rusak bukan alam/lingkungan Jakarta, yang rusak adalah alam/lingkungan Papua. Cukup banyak putra-putri Papua yang mengenyam pendidikan tinggi, juga di luar negeri. Mereka mampu melaksanakan itu semua!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s