Salah satu cara manusia menentukan kebenaran adalah berdasar kepada opini umum. Misalnya, bila ada yang mengatakan satu juta orang bahwa burung Gagak itu hitam warnanya, maka orang yang ke satu juta satu juga akan mengatakan bahwa burung gagak itu hitam warnanya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, ketika ada burung Gagak tidak hitam, apakah karena albino atau karena perubahan genetika lainnya menjadi putih warnanya, maka ia sering disebut bukan burung Gagak lagi.
Inilah yang saya ibaratkan dengan model kita cara mentukan kebenaran. Kita tidak pernah riset, siapa Tuhan yang sesungguhnya. Apakah kita pernah mengadakan penelitian, kitab mana yang benar-benar datang dari Tuhan!?. Apakah benar nabi itu utusan Tuhan, dst. Tetapi tatkala ada Tuhan lain yang diajukan orang lain, maka pasti disebutnya dia bukan Tuhan. Ketika ada yang mengaku nabi lagi, maka di pasti nabi palsu. Ketika ada kitab yang bukan yang ia yakininya, maka kitab itu dikatakan bukan dari Tuhan. Kitab Palsu.
Yang model gagak hitam itu, saya ibaratkan kebenaran dengan cara turun temurun dan yang selanjutnya kebenaran yang didapat dari pihak lain karena mendengarnya. Maka jadilah Kebenaran itu menjadi kebenaran “biologis” dan kebenaran “katanya”.
1. Manusia ada keterbatasan (hanya 5 indera), jadi menurut saya, wajar dengan keterbatasan itu akan membuat manusia melakukan sesuai dengan apa yang mereka yakini sesuai dengan apa yang mereka temui dari ke-5 indera tersebut.
2. Riset menurut saya boleh dan perlu dilakukan, tetapi balik ke point 1 kita harus sadar dengan keterbatasan itu.
3. Riset perlu data, misalnya: siapa Tuhan yang sesungguhnya?, tanpa data valid maka saya yakini itu riset tak akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan data mengenai Tuhan akan kembali darimana data mengenai “Tuhan” diperoleh. Kalau saya sebagai Islam tentu akan mengambil data dari Alqur’an dan Hadis. Kalau yang lain mungkin berbeda-beda. Kalau dibilang tidak ada riset, pendapat saya “Tidak Benar Seluruhnya”, karena ambil dari pengalaman saya sebagai muslim, saya sering melakukan riset, mengenai “Tuhan” versi orang lain, tetapi dengan adanya riset sederhana cukup untuk memperteguh keyakinan saya. Artinya saya dan mungkin teman2 lainnya tidak membabi buta mengamini apa yang dilakukan nenek moyang kami dulu 🙂
4. Sesuatu yang bersifat “ghaib” atau “bukan bersifat benda” seperti “ke-Tuhanan” tidak bisa dilakukan riset seperti riset fisika, biologi, dll Karena suatu riset harus memiliki sampel, objek, dan nyata (barangnya riil). Makanya menurut saya Allah SWT telah memberi kemudahan kepada kita untuk CUKUP HANYA menyakini hal-hal “ghaib” tersebut, karena kita DIJAMIN tidak akan mampu mendalaminya, Misanya saja Adanya angin kita tidak bisa melihatnya? Padahal energi angin sangat besar, apalagi zat Tuhan yang menciptakan Angin, Petir, Jin, dll.
Saya tertarik dengan tulisan Bapak, tapi saya khawatir ada beberapa teman-teman yang membaca salah faham, dan bisa-bisa mengambil kesimpulan salah dalam menafsirkan tulisan ini.
Terima kasih, senang sekali dengan pendapatnya. Anda special.
good post
sama dengan bila ada kucing sudah tidak selera lagi dengan ikan..