Tentu saja semua ada resikonya, tetapi pencalonan Bang Ical menjadi Calon Presiden Presiden RI 2014 yang akan datang, menjadi fenomenal perpolitikan di negeri ini. Peristiwa ini tidak melanggar konvensi internal Golkar apalagi melanggar hukum. Namun demikian kita dapat bertanya, gerangan apa sebenarnya yang terjadi dibalik pencalonan ARB tersebut? Karena ada terkesan grusa grusu, terlalu dipaksakan atau mungkin semacam akal2an. Karena kalau kita melihat tata aturan pencalonan Calon Presiden di negeri ini, pencalonan ARB menjadi beresiko!.
Indonesia, walalau dinyatakan sebagai penganut system Presidential, tetapi dalam prakteknya aplikasi system parlementer masih dilaksanakan. Rancu. Sehingga kadang-kadang kita merasakan sesuatu yang absurd alias janggal dan bahkan aneh. Salah satu pasal pencalonan Presiden dan wakil Presiden dalam UUD 1945 ini dibolehkan dari kubu partai politik yang berbeda, bila calon ybs tidak dapat memenuhi persyaratan minimal raihan kursi di DPR.
Berkaitan dengan pencalonan Bang Aburizal Bakri, bila Golkar tidak dapat memenuhi kursi di DPR yang memungkinkan mengajukan menjadi Calon Presiden, terus bagaimana sikap Golkar? Atau hanya bia menjadi sebagai Calon Wakil Presiden saja, bagaimana? Pengalaman masa lalu, bahwa partai yang besar tidak identik dan serta merta bisa meloloskan calonnya menjadi Presiden RI, contohnya Golkar sendiri (Wiranto) dan PDI-P (Megawati), pada pemilu 2004, kalah oleh Partai Demokrat (SBY), yang hanya maraih suara 6% di DPR. Pada Pemilu 2009, SBY maju sendiri tanpa di dampingi wakil Presiden ex partai dan menang!. Ini artinya apa? Partai yang besar tidak menjadi jaminan mememangkan PilpRes, PilGub atau bahkan PilBup. Dalam system Presidential, esensinya adalah orang memilihi orang, bukan memilih Partai. Jadi kemenangan seseorang, bukan karena faktor daya dukung partainya, akan tetapi karena “populeritas” dirinya alias orangnya dimata pemilihnya.
Karena itu, atas dasar asumsi tersebut, maka kita dapat mengukur tingkat elektabilitas Abu Rizal Bakri dari integritas personalnya. Ia sosok yanag sangat piawai dalam mengelola berbagai pemilihan untuk dirinya, baik takkala untuk ketua Umum Kadin maupun Ketua Umum Golkar. Pertanyaannya, mampuhkah ARB sekarang mengelola rakyat yang heterogen ini tersebar di seluruh nusantara? Berkemampuankah mesin Politik Golkar menggiring rakyat pemilih agar menjatuhkan pilihannya kepada ARB? Bagaimana mengelola opini negatif yang mungkin akan di kembangkan oleh pihak lawan politik, seperti persoalan KKN dirinya, Penggelapan Pajak (?), Kasus Lapindo, dll.
Secara pribadi, saya percaya kalau ARB berkemampuan mengurus negara ini menjadi lebih baik, karena saya tahu siapa beliau (sama sama di Kadin), tetapi yg masih meragukan saya adalah, apakah rakyat Indonesia akan memilihnya? Wallahu alam bi sawab.
Panggung politik tidak pernah steril dari siasat, sedangkan di dalam siasat terkandung satu elemen tunggal, yakni “kemenangan”. Jangan pernah kaitkan keadilan dengan politik, karena kedua hal tersebut saling bertentangan ibarat api dan air.