Walau tersurat didalam kitab suci sekalipun, bila anda tidak mengerti, apalagi faham, tidak harus mengimaninya. Bila perilakunya seperti itu, al-qur’an yang tadinya sebagai petunjuk (hudan), akan berubah menjadi sebuah “ajimat”. Bahkan lebih dari itu, ayat al-qur-an yang di imani, tetapi tidak di fahami kedalaman artinya, bisa saja menjadi menyesatkan anda. Contoh Amrozie Cs. Perintah Al-qur’an supaya “asshidau alalkufar”, tegas kpd orang yang kafir, jadilah di artikan membunuh siapa saja yang dianggap kafir menurut penilaian dirinya, dan mengatas namakan “jihad fiesabilillah”, membunuh.
Para zumhur ulama merumuskan makna Iman itu seperti ini; “Mengakui dalam hati, aqdun bilqolbi, terucap dalam lisan, iqraru bilisani, dan af’alu bilarkani atau melakukan dalam perbuatan”. Jadi bukan hanya diartian sebagai “percaya” atau believe. Karena Iman itu pemahamannya seperti itu, maka tentu kita harus berhati-hati bagaimana kita berperilaku menjadi seorang yang beriman. Bila gegabah, jadilah si iman yang membabi buta. Salah kaprah dan malah menjadi ingkar dari substansinya.
Jadi iman itu mulai dengan memroses sesuatu yang dapat kita telaah, dengan pertama “mengerti” dahulu baru kemudian “memahaminya” dan setelah itu barulah dapat menentukan sikap keimanannya. Sikap keimanan seperti inilah yang kemudian akan menjadi perilaku yang mencerminkan seseorang sebagai orang yang penuh dengan kearifan, tidak menjadi amarah dan bahkan tidak akan mengkerdilkan nalar kita.