Mungkin, karena persoalan Tauhid dan atau ingin menghindari Kemusrikan, yang dosanya tidak akan pernah di ampuni oleh Allah, menjadi hight light issue dan dianggap sangat penting bagi para pen-da’wah. Akhirnya, sebagian umat islam, terbentuk mindsetnya “agama yang paling benar adalah islam dan yang lain salah”. Sebagian lagi intolerance kepada keyakinan umat lain yang berbeda agama, bahkan yang seagama-pun, tetapi berbeda dalam mahzab. Akibat dari ini semua, maka menjadi suatu keniscayaan, bila sampai terjadi berdarah darah korban keyakinan yang membabi buta ini.
Coba simak ayat ini “tidaklah kami menciptkan mereka itu, dari laki dan perempuan, serta menjadi mereka itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya saling kenal mengenal (lita’arafu). Bagi saya, selaku pelaku Cross Culture, maka ayat ini sangat startegis untuk menjadikan umat Islam melek kepada realita dan membuktikan kalau “perbedaan itu adalah rahmat”.
Apakah saya yang salah, atau para pendawah-pendakwah itu yang tolol, bila ayat itu, diangkat mejadi central issue materi yang di dakwahkan, sehingga umat Islam akan menjadi tercerahkan otaknya, situasinya akan menjadi adem ayem, hidup bersama dalam perbedaan. Harmonis dan saling menghargai serta respect terhdapap berbagai perbedaan perbedaan itu.
Coba kalau kata “lita’arafu” itu, kita tafsirkan sebagai sikap saling harga menghargai, saling kenal mengenal dan bahkan saling cita mencintai.
Kutip, Prof. Dr. Hamka Haq, MA. bahwa kata kunci dalam ayat di atas adalah “lita’arafu” yang diartikan “saling kenal-mengenal”. Semangat saling mengenal yang menjadi inti dari doktrin tersebut adalah “ke-‘arif-an” yang berasal dari kata yang sama dengan “lita’arafu”. Menurutnya, Islam menghendaki terwujudnya kearifan global dengan filosofi “lita’arafu” bagi kehidupan manusia, yang tercermin dalam peradaban yang dibangun yang berintikan maslahat (ma’ruf), dalam tatanan masyarakat plural yang disebut masyarakat madani (civil society / civilized society). Yaitu suatu masyarakat demokratis yang menghargai perbedaan etnis, agama, dan budaya[iii]. Dengan lita’arafu ini, manusia akan saling mengenal dan saling memperkenalkan karya-karyanya, saling menghargai, saling menghormati sehingga terbentuklah manusia yang berperadaban. Dari “pilar kemanusiaan” inilah, persatuan umat akan bisa terwujud dengan baik.