Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apa sebenarnya yang melemahkan lembaga KPK yang sekarang eksis itu, sehingga harus di perkuat dengan RUU yang baru?. Inilah yang kemudian menjadi pro dan kotra di masyarakat saat ini, karena tidak di fahami esensi penguatan KPK itu pada bagian yang mananya.
Para pendukung RRU KPK, seperti PDIP sebagai motornya dan partai-partai koalisi pemerintah lainya, sepakat bahwa RUU KPK tersebut, adalah upaya penguatan KPK itu sendiri. Tetapi yang menarik adalah, ada tiga partai lainnya, yang sejak awal menolak membahas RUU KPK itu adalah Gerindra, disusul oleh Partai demokrat dan kemudian PKS.
Johan Budhi-Jubir Presiden, kali ini dengan piawai menjelaskan, bahwa Presiden Jokowi menegaskan RRU KPK itu harus dalam rangka penguatan. Saat sebagai salah seorang ketua KPK, Johan Budhi tidak setuju dengan RUU KPK sekarang. Tetapi ia sendiri kemudian menjelaskan, kontroversi di masyarakat soal RUU KPK itu, adalah sekedar rumor saja, karena tidak transparan RUU tersebut dapat di baca oleh masyarakat.
Pemerintah menanggapi rumors. Aneh.
Sekedar catatan kalau yang selama ini di permasalahkan oleh kalangan politikus soal KPK tersebut adalah soal ;
1.Satu-satunya mahkota KPK, yaitu soal penyadapan. Apabila hasil perubahan, penyadapat itu menjadi di perluas seluas-luasnya, maka ini artinya KPK semakin kokoh. Dan ini arti penguatan 2. Soal SP3, bila ini tidak berubah, maka KPK di dorong untuk lebih meningkatkan kehati-hatiannya, artinya mendorong profesionalismenya. Inilah arti Penguatan 3. Kalau KPK ini hak hidupnya tidak di batasi, maka ini artinya adalah Penguatan KPK. KPK sdh cukup legitimate, karena ditetapkan oleh UU.
Kegagalan awal pembahasan RUU KPK di DPR minggu yang lalu, patut kita pertanyakan, ada apa? Yang pasti, RUU KPK itu adalah, tidak lain sebagai agenda politik partai-partai pro pemerintah; “bila tidak penguatan KPK” maka ia adalah “penguatan orde korupsi”.