Mukadimah tulisan ini, dengan mengutip hadist dhaif dibawah, supaya kemudian saya bisa menulis focus keurusan Iman itu, silahkan simak :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ ».
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan iman seseorang ditunjukkan dengan kebagusan akhlak dan sikap lemah lembut pada keluarga.” (HR. Tirmidzi, no. 2612 dan Ahmad, 2: 47. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)
Nah, faham bukan. Bahwa Iman itu, bukan mustahil akan hilang dari diri kita. Karena itu tidak sedikit orang yang tadinya beriman menjadi murtad. Tidak beriman lagi.
Apa penyebabnya?
Pasal pokoknya, karena iman itu diajarkan tanpa alasan. Tanpa difahamkan. Tidak peduli apakah dapat dimengerti atau tidak. Misalnya, kita diwajibkan mengimani, katakanlah iman itu disini diartikan sempit, yaitu Percaya. Kita diajari untuk percaya, “umpamanya bahwa dipohon itu ada syaitannya”. Lalu kita sertamerta mempercayainya, kemudian timbul rasa takut. Tetapi dalam proses perjalanan waktu, tidak terbukti sama sekali, bahwa dalam pohon itu ada syaithonnya. Dan serta merta pula, Iman terhadap pohon yang ada syaithonnyapun, hilang.
Jadi harus bagaimana?
Begini. Kata Iman itu, karena memerlukan rangkaian kata berikutnya, seperti sesuatu kata yang menjelaskan yg tidak ada (ghaib), atau yang illogical (non sense) dan kata yang sejenisnya. Disinilah persoalannya. Ketika dirasakan adanya, maka keimanannya akan naik, tetapi bila tidak terasa, maka kadar keimanannyapun akan turun. Melemah. Karena itu harus selalu diperbaharui. Di Charged. Jadi iman itu naik dan turun.
Bila Premisnya seperti tadi, maka ajaran Iman itu harus dihindari. Diganti dengan ajaran dan methodologi yang premisnya pasti. Misalnya 1+1 = 2. Bila ini difahami atau dimengerti, maka sampai kapanpun disodorkan dalil baru apapun misalnya, 1+1 = 3, pasti orang tidak akan percaya, dan tetap mengerti atau faham bahwa 1+1 = 2.
Jadi, menjelaskan Tuhan, jangan diajarkan dengan metode keimanan, tetapi difahamkan logikanya, supaya tidak akan pernah terjadi murtad lagi. Apa itu “mengerti”. Logical. dst
Nah, hadist dhaif diatas itu, buat saya shahih!!!